Deretan Butir MoU Helsinki yang akan menjadikan Aceh sebagai Provinsi Adidaya, tetapi gagal secara implementasi. Padahal dalam perjanjian, Pemerintah Indonesia dan GAM tidak boleh melakukan tindakan yang bertentangan dengan perjanjian damai, namun kenyataannya tidak seindah butiran MoU Helsinki. Berikut daftarnya:
Pemerintahan Aceh:
- Aceh akan punya kewenangan mengatur hampir semua urusan sendiri, kecuali urusan luar negeri, pertahanan negara, keamanan nasional, uang, pajak, pengadilan, dan kebebasan agama. Urusan-urusan itu tetap diatur oleh pemerintah pusat.
- Kalau ada keputusan dari pusat yang berhubungan dengan Aceh, pemerintah pusat harus bicara dulu dengan Aceh dan mendapatkan persetujuan.
- Aceh boleh punya bendera, lambang, dan lagu daerah sendiri.
- Aturan-aturan daerah di Aceh akan disesuaikan dengan adat istiadat dan kebutuhan masyarakat Aceh saat ini.
- Akan ada Lembaga Wali Nanggroe sebagai simbol kepemimpinan adat di Aceh.
Ekonomi Aceh:
- Aceh boleh pinjam uang dari luar negeri dan menentukan sendiri tingkat bunganya.
- Aceh boleh membuat aturan pajak daerah sendiri dan menarik pajak dari masyarakat Aceh.
- Aceh boleh berdagang dengan daerah lain di Indonesia dan juga dengan negara lain. Aceh juga boleh mengundang investor dan turis asing untuk datang ke Aceh.
- Aceh berhak atas kekayaan alam yang ada di laut dekat Aceh.
- 70% dari hasil minyak, gas, dan sumber daya alam lainnya di Aceh akan menjadi milik Aceh.
- Aceh akan mengelola sendiri pelabuhan dan bandar udara di Aceh.
- Aceh boleh berdagang dengan daerah lain di Indonesia tanpa ada pajak atau hambatan lainnya.
- Aceh boleh berhubungan langsung dengan negara lain lewat laut dan udara.
- Pemerintah pusat harus transparan soal uang yang didapat dari Aceh dan bagaimana uang itu digunakan. Akan ada pemeriksaan dari pihak luar untuk memastikan hal ini.
Hukum di Aceh:
- Aturan-aturan hukum di Aceh harus sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional.
- Akan ada pengadilan independen di Aceh, termasuk pengadilan tinggi.
- Pemilihan kepala polisi dan kepala kejaksaan di Aceh harus disetujui oleh gubernur Aceh.
- Kalau ada anggota TNI yang melakukan kejahatan terhadap masyarakat sipil di Aceh, mereka akan diadili di pengadilan biasa, bukan di pengadilan militer.
- Akan ada pengadilan khusus untuk menangani kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di Aceh.
Selain hal itu, dalam MoU Helsinki juga mendefinisikan kembali jika kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia adalah alat keamanan negara, tidak berhak mencampuri dan mengintervensi Aceh.
- Polisi di Aceh akan bertanggung jawab menjaga keamanan sehari-hari.
- Tentara hanya akan menjaga keamanan dari ancaman luar. Jika dalam keadaan damai maka cuma tentara organik yang boleh ada di Aceh.
Dengan kewenangan yang luas dalam mengatur urusan internal, kontrol terhadap kekayaan alam, kemandirian dalam ekonomi, sistem hukum yang lebih adil, serta perlindungan identitas budaya dan keamanan lokal, Aceh bisa dilihat sebagai provinsi adidaya dan relatif bebas dari intervensi pemerintah pusat. Hal ini memungkinkan Aceh untuk membangun masa depan yang lebih mandiri dan sejahtera sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakatnya.
Namun secara implementasi, Adidaya itu berlabel “Provinsi Miskin”. Kenyataan pahit ini tidak bisa dibantah, masyarakat Aceh harus menerima dan mengevaluasi apa yang menjadi hambatan.
15 Agustus 2024, sudah 19 tahun Anak itu lahir, dia sudah dewasa dan sudah saatnya rakyat Aceh sebagai ibu untuk menagih dan menuntut ayah (Indonesia) terhadap masa depan anaknya. Bersama galang kekuatan, lakukan implementasi yang maksimal.
Note: Tulisan ini dibuat oleh Jhony Howord ketua Wahana Generasi Aceh (Wangsa), tidak bermaksud menyudutkan ataupun membela pihak manapun. Tujuan dari tulisan ini adalah penyadaran akan hak yang nyata. Revolusi tidak akan sampai sekedar retorika dan gagasan semata, Revolusi identik dengan aksi massa.
Dokumen MoU Helsinki (Bahasa Indonesia)
Dokumen ini diambil dari Website Kontras, Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.