Aceh, 14 Agustus 2024 — Pada tanggal 17 Agustus 2024 mendatang, Indonesia akan memperingati Hari Ulang Tahun ke-79 Kemerdekaan. Namun, Ketua Wahana Generasi Aceh (Wangsa), Jhony Howord, menilai bahwa makna kemerdekaan ini belum sepenuhnya dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Belakangan, dunia Paskibraka dihebohkan dengan isu pelarangan bagi anggota perempuan Paskibraka 2024 untuk mengenakan jilbab saat dikukuhkan oleh Presiden Joko Widodo di Ibu Kota Nusantara (IKN). Dari 18 anggota Paskibraka perempuan yang sebelumnya mengenakan jilbab, semuanya tidak mengenakan jilbab saat prosesi pengukuhan.
Purna Paskibraka Indonesia (PPI) menduga bahwa pencopotan hijab para anggota Paskibraka perempuan ini terjadi karena adanya tekanan dari pihak yang bertanggung jawab atas Paskibraka 2024, yaitu Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Kejadian serupa pernah terjadi pada tahun 2007, ketika larangan memakai jilbab bagi anggota Paskibraka di Kediri menuai kecaman dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Pada tahun 2010, isu serupa mencuat ketika calon anggota Paskibraka putri asal DKI Jakarta dihebohkan dengan perintah berdiri telanjang sebelum mandi dan hukuman jalan jongkok tanpa pakaian.
“Dengan beberapa kali isu serupa muncul seharusnya sudah ada regulasi yang ditetapkan” ucap nya.
Jhony Howord menilai bahwa kejadian ini merupakan pengkhianatan terhadap sila pertama Pancasila. Ia menegaskan bahwa negara seharusnya menjamin kebebasan beragama dan menjaga toleransi. Aceh, sebagai pelopor pengiriman anggota Paskibraka berhijab, merasa terdiskriminasi dengan adanya larangan ini, yang ia sebut sebagai bentuk diskriminasi terhadap salah satu agama.
“Ironisnya, ini terjadi pada saat menjelang peringatan kemerdekaan. Maka, apa artinya kemerdekaan hari ini selain memperhalus kata diperbudak dan dijajah?” tegas Jhony.
Lebih lanjut, Jhony mengingatkan bahwa pada tanggal 15 Agustus juga merupakan hari peringatan perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia. Salah satu butir perdamaian tersebut adalah penegakan syariat Islam di Aceh. Larangan berhijab ini, menurutnya, sama saja dengan melarang Aceh untuk berkontribusi di kancah nasional.
Wangsa juga meminta agar pemerintah Aceh bersikap serius terhadap persoalan ini. Jhony menilai bahwa persoalan ini menyangkut harga diri Aceh, terlebih lagi banyak tokoh Aceh yang selama ini begitu vokal dalam mengkritisi isu waria yang melibatkan nama Aceh.
“Politisi dan tokoh Aceh sudah kompak mengkritisi isu waria sampai digugat, maka seharusnya persoalan ini lebih mendapatkan perhatian. Secara tidak langsung, negara telah membatasi kebebasan beragama dan membatasi Aceh untuk maju ke tingkat nasional,” ujar Jhony Howord.
Dia berharap, persoalan ini dapat segera diselesaikan mengingat peringatan Hari Kemerdekaan tinggal beberapa hari lagi. Jika persoalan ini tidak ditanggapi secara serius oleh politisi atau pemerintah Aceh, Jhony menyatakan bahwa sudah saatnya rakyat Aceh bergerak dan melakukan revolusi kepemimpinan di Aceh, utup Jhony Howord.