Pencemaran yang berulang kali terjadi di laut Meulaboh, menunjukkan adanya celah besar dalam pengawasan dan akuntabilitas. Sebuah Kerusakan lingkungan dan kesenjangan penegakan hukum. Pada kasus sebelumnya, uji laboratorium yang sudah dilakukan tanpa mengungkap siapa pelaku pencemaran menimbulkan pertanyaan serius tentang transparansi dan kejujuran proses investigasi.
Ketika hanya ada dua perusahaan besar yang beroperasi, yaitu PT. Mifa Bersaudara dan PLTU 1 & 2, sulit dipahami mengapa penyebab pencemaran tetap menjadi misteri. Ini menunjukkan bahwa ada potensi konflik kepentingan atau ketidakmampuan pihak berwenang untuk menegakkan hukum secara tegas terhadap perusahaan-perusahaan besar tersebut.
Ketidakjelasan mengenai pelaku pencemaran menunjukkan adanya kelemahan dalam regulasi, kurangnya transparansi, dan kemungkinan adanya lobi kuat dari perusahaan-perusahaan tersebut. Aceh Barat membutuhkan kejelasan dan tindakan nyata, bukan janji kosong atau hasil lab yang tak mampu mengungkap pelakunya.
Lebih jauh lagi, pencemaran ini terjadi di tengah persiapan Aceh Barat sebagai tuan rumah beberapa cabang PON Aceh-Sumut, sebuah peristiwa yang seharusnya menjadi ajang menunjukkan prestasi. Ironisnya, pencemaran lingkungan malah menjadi polemik dan terkesan dialihkan dengan PON Aceh-Sumut, ini justru mengirimkan pesan negatif.
Fenomena di mana pemerintah tampak mengalihkan perhatian publik dari pencemaran laut Meulaboh dengan persiapan PON Aceh-Sumut merupakan bentuk manipulasi perhatian yang sering terjadi dalam kasus lingkungan dan pembangunan. Alih-alih memberikan perhatian serius pada dampak kerusakan lingkungan, pemerintah justru lebih fokus menghimbau masyarakat untuk mengalihkan pandangan pada event PON. Hal ini memperlihatkan lemahnya komitmen pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkungan, terutama di wilayah yang menjadi sumber pencemaran.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika perusahaan, seperti PT. Mifa Bersaudara, mencoba memanfaatkan momen pencemaran tersebut untuk menaikan citra mereka. Mereka menggandeng masyarakat dan instansi tertentu dalam kegiatan bersih-bersih pantai. Langkah ini bisa terlihat sebagai bentuk tanggung jawab sosial, namun di balik itu muncul kecurigaan yang wajar: apakah mereka benar-benar peduli terhadap lingkungan, atau justru dalang utama di balik pencemaran tersebut?
Jika memang benar perusahaan itu melakukan aksinya karena dasar peduli lingkungan, maka sebuah apresiasi yang besar atas kepeduliannya. Tetapi, jika perusahaan itu adalah dalang dibaliknya, kegiatan bersih-bersih adalah langkah kosmetik untuk menutupi tanggung jawab mereka yang lebih besar. Dengan melibatkan masyarakat dan instansi tertentu, untuk meredam tekanan publik dan menghindari investigasi yang lebih mendalam.
Di sisi lain, ada risiko bahwa masyarakat yang terlibat dalam program tersebut, termasuk instansi pemerintah dan swasta ataupun organisasi tertentu, bisa saja dimanfaatkan untuk memperkuat narasi bahwa pencemaran bukanlah akibat dari aktivitas industri mereka. Ini juga menjadi cara untuk menghindari penegakan hukum yang tegas dan mengaburkan fakta siapa sebenarnya yang bertanggung jawab.
Kritik keras harus diarahkan pada pemerintah dan perusahaan yang mungkin mencoba untuk bermain dengan persepsi publik ketimbang menuntaskan masalah pencemaran ini. Mereka seharusnya menegakkan transparansi, memberikan hasil investigasi yang jelas, serta menindak pelaku pencemaran dengan tegas, tanpa memandang besar kecilnya kekuatan finansial perusahaan. Kolaborasi antara perusahaan dan masyarakat dalam menjaga lingkungan akan bernilai hanya jika disertai dengan komitmen nyata, bukan sekadar aksi pencitraan yang dilancarkan saat krisis reputasi terjadi.
Aceh Barat sedang tersungkur di panggung nasional, tanpa penegakan hukum yang tegas dan komitmen untuk melindungi lingkungan, PON Aceh-Sumut justru bisa menjadi momentum buruk yang mengungkap betapa lemahnya perlindungan lingkungan di daerah yang sedang menjadi sorotan nasional.
Penulis : Jhony Howord, Ketua Wahana Generasi Aceh (Wangsa)